Just A Life Journey of A Girl

Just A Life Journey of A Girl

A Life Learner

Semoga,,kehadiranku disini,,dapat sedikit menjadi pewarna dalam hidupmu,,walau hanya setitik...

Senin, 25 Juli 2011

Sergapan Rasa Memiliki


..milik nggendhong lali..
rasa memiliki membawa kelalaian

-peribahasa Jawa-

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥

#JCPP

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.


Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan..
Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..

Berjuang di Dunia Berharap Pertemuan di Syurga


Kehidupan tak ubahnya sebuah perjalanan. Ada asal, perlu perbekalan, ada terminal tempat istirahat dan punya tujuan. Seperti seorang musafir yang tinggal sebentar di bawah pohon rindang untuk beristirahat. Tapi segera setelah itu iapun meninggalkan pohon tersebut.

Ahh...betapa singkatnya bukan?

Dalam Perjalanan kita yang panjang, yang penuh peluh dan ujian ini mestinya tidak merubah skenario perpindahan yang seharusnya kita lewati. Perpindahan dari kondisi yang buruk menjadi lebih baik. Dari kemaksiatan kepada ketaatan dalam kedamaian Islam.

Perjalanan ini akan cepat sekali membuat kita letih, membuat kita payah. Jiwa kita seperti berada di tengah gurun yang panas yang segera perlu bertemu dengan air telaga yang bening agar ia segera kembali menemukan kesegarannya dan menjadi kuat untuk menempuh kembali setiap aral.

Biarlah banyak orang yang mengira menapaki jalan ini adalah jalan yang begitu berat, sebagaimana para nabi, orang-orang shalih, dan para syuhada. Biarlah orang menyangka seperti itu. Karena kita sungguh merasakan kebalikannya. Kenikmatan, ketenangan, kebersahajaan, yang tak bisa terbayar oleh apapun.

Karena kita justru merasakan pengorabanan itu sebagai sebagaian syarat kebahagiaan, karena segala payah dan kesulitan di jalan ini adalah kunci ketenangan yang sebenarnya.

Karena memang ada pertemuan yang indah yang ingin kita jumpai di akhir masa.

Disana…

Pasti….

#BDBPS# Tarbawi

Mencintai itu KEPUTUSAN

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.

Sebab cinta adalah kata lain dari memberi... sebab memberi adalah pekerjaan... sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat... sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu lama... sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh... maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan, “Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!

Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linier. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.

~ Anis Matta ~

Selasa, 19 Juli 2011

Epilog Seorang Teman

Aku bersyukur menjadi temanmu
Banyak yang telah ku pelajari erti kehidupan
Ukhuwah yang sekian lama terjalin
Semurni embunan pagi

Perjalanan kita masih jauh
Rentasi segala ranjau serta onak berduri
Hanya ketabahan dan keimanan di hati
Mengatasi segalanya

Ku cuba memahami dirimu
Agar persahabatan kekal utuh bersatu
Ku sedar betapa cekalnya hatimu
Menhadapi ujian Allah Yang Satu

Akal budi sinar peribadi
Madah indahmu tidak akan daku lupakan
Kau sering mengingatkan diri ini
Tiada kemanisan hidup tanpa keimanan

Ya Allah Oh Tuhan kami
Seiringkanlah perjalanan ini
Mengharungi hidup penuh pancaroba
Mencari kasih Mu

Berkatilah persahabatan kami ini
Buat selamanya
Oh Tuhanku

By Amar (Diari Rindu)

Senin, 18 Juli 2011

Jangan Jatuh Cinta

Jangan Jatuh Cinta

Album : Jangan Jatuh Cinta Tapi Bangun Cinta
Munsyid : Maidany
http://liriknasyid.com


Di sini pernah ada rasa simpati
Di sini pernah ada rasa menggagumi
Rasa ingin memiliki
Memasukkanmu ke dalam hati ini

Menjadi penghuni...
Mencoba berlindung di balik fitrahnya hati
Untuk mencari pembenaran diri...
Namun Ternyata semua hanya permainan nafsu

Untuk memburu cinta yang semu
Aku Tertipu...
Tuhanku berikanku cinta yang Kau titipkan
Bukan cinta yang ku tanam

Aku ingin rasa cinta ini
Masih menjadi cinta perawan
Cinta yang hanya aku berikan
Saat ijab qabul telah tertunaikan

Tuhanku berikanku cinta yang Kau titipkan
Bukan cinta yang ku tanam

Kembara Cintaku

Yaaah mungkin inilah apa yang kusebut dengan 'kembara cintaku'. Entah cocok atau tidak dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, tapi inilah kata-kataku mencoba menerjemahkannya ke dalam tulisan.

Sebuah perjalanan yang penuh liku. Mencoba mengenal, dekat, dan mengakrabi seseorang yang kusebut dengan 'kekasih'. Kenal dengan satu, dua, tiga, empat orang, mengharap ada satu diantara mereka yang cocok, yang dapat sesuai dengan alur jiwaku. Tak mudah ternyata, apalagi dengan karakterku sendiri yang tak mudah untuk 'jatuh cinta'. Ditambah dengan keadaan-keadaan yang aku slalu jumpai, mengagumi seseorang yang akhirnya berubah jadi cinta, namun akhirnya harus terluka karena setiap orang yang aku cinta, meninggalkanku atau mereka telah memiliki kekasih yang mereka cintai. Akhirnyapun aku harus 'gigit jari'.

Aku berpikir, dan berkata pada diriku sendiri dan terkadang aku mengadu padaNya,Tuhanku yang tau segala, "Apakah memang aku tak pantas mencinta??" "Tak bolehkah aku memiliki satu kekasih, SATU saja,cukup yang mencintaiku dengan cara sederhana, SATU saja, yang akan kuberikan semua cintaku untuknya, bersama mewujudkan mimpi yang satu".
Aaaahhh, atau memangkah aku tak punya sesuatu yang lebih untuk dicintai??

Beribu tanya datang menggoda, setiap kali aku merindukannya, merindukan seorang kekasih hati. Manusiawiku, ingin merasakan cinta dan kasih sayang dari seseorang yang bernama 'kekasih'. tak bolehkah?? tak bolehkah??
Kadang aku juga berpikir, apakah ini adalah karma?? Karma karena menolak orang-orang yang mencintaiku dengan tulus?? Tapi bagaimana bila aku memang tak bisa jatuh cinta pada mereka? Apakah aku harus hidup tertekan dengan berpura-pura menyukai mereka?

"Aah, hidup terlalu sepele hanya untuk berurusan dengan yang namanya 'cinta'. Masih banyak hal yang bisa kau lakukan dalam hidup untuk membahagiakan orang lain, orang-orang yang ada di sekitarmu." Begitulah kilahku, setiap saat aku berpikir tentang ketidakadilan hidup karena aku tak mendapatkan cinta dari orang yang ingin kuberi cinta.

Waktupun berjalan........
Mencoba terus menyeksamai tentang apa yang terjadi dengan kembara cintaku.
Yaaah, mungkin inilah jalan yang diberikan Tuhanku untuk aku bertemu dengan cinta sejatiku. Ketidak berhasilan dalam sebuah hubungan adalah jalan pembuka untuk semakin dekat dengannya, cinta sejatiku. Ini adalah pelajaran yang harus diambil agar kelak bila ku berjumpa dengannya, kekasih hatiku, aku tidak melakukan kesalahan lagi yang sama, agar aku dapat mencintainya dengan sempurna, dengan belajar dari kesalahan yang telah lalu.

Tuhanku, tidak mengizinkanku untuk bersama dengan orang yang aku cintai dulu, agar aku tetap terjaga hatinya, hanya untuk orang yang dipilihkan olehNya, suatu hari nanti.
Yaaah, inilah jawabannya,, bahwa cinta sejati hanya milikNya, cinta yang tidak berdasarkan atas cinta kepadaNya hanya akan jadi semu, sesaat, sesaat, dan sesaat...

Maka biarlah aku akan tetap disini menunggu, cinta sejatiku, datang menjemputku, bersama dengan datangnya ridho dari Tuhanku, dalam cinta yang halal dunia akhirat,,

ku menunggumu,,,pangeran hatiku......... *_^

Metro, dalam mendung yang menyelimutinya...